Minggu, 30 Mei 2021

~perjalanan kilometer 292~

 


Diluar dugaan responmu adalah tertawa, “lucu” begitu katamu

Iya memang lucu sih

Aku yang telah menua menuliskan perasaan layaknya remaja yang sedang jatuh cinta

Aku yang buta arah

Melihat semua jalan begitu rimbun

Sungguh tidak mulus perjalanan

Aku harus berperang dengan diri sendiri

Tiga ratus enam puluh lima hari lamanya

Menelaah torehan cerita

Banyak PR ku yang harus diselesaikan

Memulai dengan memaafkan semua kejadian

Merelakan mereka yang datang dan pergi layaknya angin

Membingkai semuanya menjadi sejarah

Lalu aku harus memilah

Mana yang layak mengukir cerita

Kemudian mempersilahkan bersemayam

Menyelam lagi dikedalaman diri

Akankah aku membiarkan begitu saja dan memeluk egois

Membungkan mereka dengan senyuman

Dan membiarkan ku tenggelam lagi

Atau menyajikan pemahaman

Bahwa sesungguhnya aku sudah mencapai dasar yang dalam

Menciptakan keberanian memperjuangkan keinginan

Memilih jalan yang berbeda tempat ternyaman ku

Kamu dengan segala apa yang ada

Aku tak punya alasan apapun

Yang aku tau bahwa kali ini harus berani

Percayalah bahwa aku harus berperang dengan banyak ke egoisan

Kali ini aku ingin memperjuangkan aku

Dengan caraku dan keinginan ku

Tidak harus lagi mendengarkan omong kosong

Mereka tidak tau apapun tentang ku

Hanya aku yang tau

Lalu kumulai dengan berdamai dengan mu

Dan aku menemukan

Iya, sebahagia itu akhirnya aku bisa menemukan

Tak ada alasan

Karena memang aku tak bisa menemukan alasan

Surat itu…

Adalah jalan kebuntuan ku

Berharap tulisan ku akan mengesankan mu

Dan mulai memahamiku bahwa apa yang sudah ku tempuh begitu pelik

Ternyata bagimu lucu

Padahal ribuan kali harus ku ulang untuk mengetik

Satu persatu huruf itu kemudian menjadi bait dan paragraf pengakuan

Ternyata kamu tidak sedikitpun terkesan

Tak ada tanggapan

Katakana padaku apalagi yang harus aku lakukan

Apakah aku harus pergi? Dengan membawa keyakinan yang salah?

Lalu apa artinya yang kemarin?

Hujanan rasa dan kata tak berharga?

Atau hanya sekedar sapaan sesama manusia?

Tapi kenapa begitu lama?

Begitulah cerita maya

Rabu, 21 April 2021

h u j a n

"Ah pagi pagi sudah turun hujan". kataku pada ibu


"Berdo'a sayang, jangan menggerutu begitu, hujan juga rizki lho." begitu kata ibu sambil sibuk menyiapkan sarapan untuk ku dan ayah.

Aku suka hujan, kata ibu sejak kecil aku suka hujan-hujan, setiap hujan turun aku selalu ingin keluar dan minta hujan hujan pada ibu sambil merengek khas gaya anak usia 1 tahun, dan kalau hujan belum berhenti aku tidak akan mau masuk rumah.
Ibu selalu menyiapkan susu hangat atau coklat hangat atau teh hangat setelah aku hujan-hujan dan mandi, kata ibu biar badan ku hangat dan tidak sakit.
Ibuku keren memang, disaat ibu yang lain akan marah kalau anaknya main hujan tapi ibuku tidak, dia selalu memperbolehkan anak-anaknya main hujan. kata ibu, hujan juga berkah, rizki yang Allah turunkan, dibalik hujan turun begitu banyak berkah yang Allah berikan kepada manusia juga semua makhluk di bumi. Hanya saja ibu selalu berpesan kalau habis main hujan langsung mandi dan minum air hangat biar badan tidak kedinginan dan kena flue.

Aku berbeda dengan ibu, bagiku hujan adalah sebuah ketenangan, tubuhku yang terkena air hujan rasanya enak dan seperti ada yang luruh bersama air hujan, rasa damai itu yang selalu ku rasakan saat hujan.

"Ibu... aku berangkat kerja" pamit ku pada ibu sambil salim kepada ibu.

"Jangan lupa bawa payung, nak." pesan ibu dari kejauhan yang suaranya tenggelam oleh air hujan.

Meskipun aku membawa payung aku lebih suka kena air hujan, toh saat aku berangkat hujan sudah berganti gerimis, dan aku suka menikmatinya.
sengaja jalan pelan-pelan agar lebih lama terkena air hujan, dan gerimis tidak akan membasahi baju kerjaku.
Aroma daun dan pepohonan yang khas dipagi hari saat hujan begini adalah aroma favoritku. Aku menghirupnya dalam-dalam sambil menutup mata, aku tahan sebentar didalam agar aroma segar ini merasuk kedalam setiap aliran darah dan aku lepas pelan-pelan. Aku ulangi sampai aku puas menghirupnya.

Orang-orang meskipun gerimis begini padat berlalu-lalang, ada yang berangkat kerja, pulang dari pasar, pergi ke sawah, juga anak-anak yang mulai berangkat ke sekolah. Mungkinkah mereka sama denganku yang suka dengan hujan? aku bergumam dalam hati.
Betapa senangnya kalau semua orang suka hujan, tidak ada lagi yang menggerutu saat hujan turun, semua akan tersenyum saat melihat langit mulai kelabu dan bersiap menumpahkan seluruh beban air yang awan bawa bersama angin.
Aku melirik jam tangan, 5 menit lagi bus kota yang akan aku naiki berangkat. Aku percepat langkah kalau sampai telat bus yang ini aku juga akan telat masuk kerja, karena bus berikutnya 20 menit lagi baru lewat.

"Yess!" gumamku, tepat tidak lama setelah aku sampai halte, bus kesayangan juga sampai. Begitu pintu terbuka berbegas aku masuk agar dapat tempat duduk, kan lumayan kalau 40 menit berdiri.

"kay...!" ada yang memanggilku dari belakang.

aku menoleh refleks kaget, karena jarang ada yang memanggilku dengan nama itu.

"Eymm, elsa ya?"

"Hey... iya ini aku, elsa"

"Mashaa Allah, apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik, sehat, kamu gimana?"

Kami akhirnya berbincang seru didalam bus. Dia, Elsa teman baikku saat kami masih sekolah SMA. Dia dan keluarganya pindah ke luar negeri setelah ada pengumuman kelulusan kami. Dihitung dari sekarang, kira kira kami sudah terpisah selama 5 tahun dan aku juga lost contacts dengan Elsa.

Elsa bercerita banyak hal, tentang pengalaman selama dia tinggal di luar negeri, tentang teman-temannya, tentang perbedaan budaya juga yang pasti tentang iklim disana yang jauh beda dengan Indonesia.

"El, ceritain tentang musim dingin disana dong!" aku dengan antusias minta Elsa bercerita tentang musim dingin disana.

"Wahh kamu bakalan suka deh Kay disana. hujannya tak pernah berhenti, rintik hujan terjadi sepanjang hari tanpa mengenal waktu, dan itu akan terjadi beberapa bulan. Yaa kalau di Indonesia seperti Bogor lah, tapi bedanya disana tak ada sinar matahari yang tembus sampai ke bumi. Baju yang kita pakaipun harus tahan air kalau tidak ingin basah sepanjang hari, plus harus pakai mantel lagi agar tidak kedinginan karena hujan.
Makanya dijuluki kota terbasah di sana.

"Mashaa Allah, kayaknya aku bakalan betah deh tinggal disana, haha." kami tertawa bersama sampai penumpang lain melirik kepada kami.

Lalu sekarang kamu kerja dimana?" tanyaku pada Elsa

"Di perusahaan om ku."

"Om kamu yang super ganteng dulu itu?"

"Iya, haha masih ingat aja kamu nih Kay,"

"Iya lah, sudah ganteng baik pula sama aku."

"Kamu sendiri kay? kerja dimana sekarang?"

"Haha coba tebak!"

"..." El mikir dengan wajah menelisik tatapan tajam ke arahku

"Aku sekarang kerja di BMKG"

"Wahh, Mantab!"

Lalu gantian aku yang bercerita tentang kehidupan ku selama kami terpisah, tentang kuliahku, tentang pertemananku, orang-orang yang dekat denganku, ayah ibuku, juga tentu saja tentang hujan yang masih aku sukai, dan itulah alasannya kenapa aku mati-matian berusaha bisa masuk dan bekerja di BMKG.

Dari hujan kemudian sejak SMA jadilah aku suka dengan geografi. Belajar tentang lempeng bumi, struktur bumi, sampai pada cuaca, jenis jenis awan dengan nama yang lucu-lucu, lalu bagaimana kita bisa membaca alam meramalkan cuaca, sampai kita bisa mengetahui akan ada badai apa, dimana, dan kapan, pun aku akan tau kapan hujan turun. Dan yang terpenting adalah aku bisa memberitahu masyarakat bahwa akan ada bencana gempa atau tsunami lewat peringatan dini. Semuanya bisa dipelajari dengan sains.

"Keren deh emang sahabatku yang satu ini." begitu kata El sambil menatapku kagum yang nyerocos aja ngomong tanpa ada titiknya.

"Eh, sudah sampai nih, kamu halte ini juga kan El?"

"Iya."

"Nanti makan siang bareng yuk!, kantor kita kan sebelahan,"

"yuhuu!"

Dan kami pun turun dari bus yang mempertemukan kami kembali, dan saat itu gerimis kembali turun seolah menyambut kami.

Rabu, 03 Februari 2021

Niken Bab 3

"mbak, temenin aku yuk pulang!" niken yang baru buka pintu pulang dari kampus tiba tiba meminta untuk menemaninya pulang, "kemana? sragen? magetan?" jawabku sedikit bingung.
niken dulu penah cerita bahwa ia hidupnya berpindah pindah, di magetan ada mbah, budhe yang dia pernah tinggal disana beberapa tahun dan saat SMA niken pindah ke sragen dan disana  ia mendapatkan rumah baru yang baginya mereka adalah juga keluarga.
"magetan mbak" jawab niken sambil bersiap siap, "sekarang?" jawab ku makin kebingungan karena niken langsung berkemas kemasmemaasukkan beberapa barang ke day pack nya. "iya mbak sekaranng, ada beberapa hal yang harus ku urus,ini mendesak, kita pulang besok tapi ya? enggak apa apa kan? gimana mau?" niken berkata sambil menatap dengan mata yang seperti orang bingung banyak pikiran "okay... ku temani, sebentar, aku juga mau siap siap dulu" jawabku sambil beranjak dari tempat tidur dan kemudian ikut bersiap siap.

pukul 13.00 waktu setempat akhirnya kami baru keluar kamar dan memutuskan menuju kantin untuk makan siang sebelum berangkat ke magetan menggunakan motor.
seperti biasa menu kantin yang setahun lalu sangat menggugah selera untuk ku dan selalu terasa lezat, sekarang mulai bisa di tebak jenis dan rasanya a.k.a mulai bosan dengan menu rutin kantin hahaha dan menurutku mulai terasa kurang kelezatannya, entah karena ganti tangan atau bumbu dikurangi utnuk berhemat hahah karena mahasantri yang semakin banyak sehingga kantin pun harus menyediankan makanan juga super bahyak apalagi tidak ada kenaikan yang signifikan tentang harga biaya makan.
lima belas menit kemudian kita berangkat menggunakan  motor dan lewat jalan bypass dengan harapan lebih dekat kalau lewat dari jalan ini.

jaman itu bekum ada phonecell android yang secanggih sekarang dengan fiture google map untuk cek  jarak dan keadaan lalulintas, punya phonecell yang keypad aja sudah bagus banget dan hanya orang orang kaya yang sudah punya android itupun bisa dihitung dengan  jari jumlahnya.
sekitar 16.00 kita  sampai di magetan, untuk masuk ke rumah nenek niken harus melewati beberapa kebun yang lebat dan menurutku itu terlihat lebih seperti hutan sih hehe juga melewati beberapa hutan yang beneran hutan, jalan naik turun karena masih di daerah lereng pegunungan lawu.